Menimbang Kerja Sama Maritim RI-China, Peluang Strategis atau Ancaman Kedaulatan?
Pengamat Sosial Politik dan Pendidikan
Kesepakatan bersama yang dicapai antara Indonesia dan China pasca kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Beijing telah memancing diskusi hangat di ruang publik. Kritik yang dilontarkan oleh Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, sebagaimana dilansir CNN Indonesia memperlihatkan dua sisi berbeda dari kerja sama ini. Di satu sisi, kesepakatan tersebut membuka peluang diplomatik dan ekonomi bagi Indonesia. Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran serius bahwa kedaulatan Indonesia atas Laut Natuna Utara mungkin berada di ujung tanduk jika tidak dikelola dengan bijak.
Memperkuat Hubungan dan Stabilitas Kawasan
Kerja sama maritim yang disepakati dalam pernyataan bersama ini, pada dasarnya, dapat dilihat sebagai upaya untuk memperkuat hubungan bilateral antara Indonesia dan China. Dengan semakin tingginya tensi di Laut China Selatan, kolaborasi semacam ini bisa menjadi alat penting untuk menjaga stabilitas kawasan. Indonesia dan China, sebagai dua negara dengan peran strategis di Asia, tentu memiliki kepentingan bersama dalam menjaga perdamaian di wilayah ini.
Salah satu poin dalam pernyataan bersama ini menekankan pentingnya "titik terang" dalam kerja sama maritim. Ini menunjukkan bahwa kedua negara berusaha mencari jalan tengah dan solusi konkret untuk mengatasi berbagai masalah maritim yang selama ini menghambat hubungan kedua negara. Bagi Indonesia, memperkuat kerja sama dengan negara ekonomi terbesar kedua di dunia ini juga bisa memberikan keuntungan ekonomi yang signifikan. China merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia, dan menjaga hubungan baik dengan China merupakan langkah strategis untuk memastikan aliran investasi dan perdagangan tetap lancar.
Jika dilihat dari sisi positif, kerja sama ini juga dapat berkontribusi pada upaya ASEAN untuk menyelesaikan sengketa Laut China Selatan melalui mekanisme Code of Conduct (CoC) yang sudah lama diupayakan. Jika berhasil, kesepakatan ini bisa mendorong stabilitas yang lebih luas di kawasan Asia Tenggara dan mengurangi potensi konflik maritim yang kerap terjadi.
Klaim Sepihak dan Kedaulatan yang Terancam
Namun, kritik Hikmahanto Juwana menyoroti sisi lain yang perlu kita waspadai. Salah satu kekhawatiran terbesar adalah apakah kesepakatan ini berarti Indonesia mengakui klaim sepihak China atas Sepuluh Garis Putus (Nine Dash Line). Klaim ini telah lama menjadi sumber ketegangan di Laut China Selatan, termasuk dengan Indonesia di wilayah Natuna Utara. Jika benar bahwa kesepakatan ini melibatkan pengakuan atas klaim tersebut, maka Indonesia seolah-olah telah mengubah kebijakan luar negerinya yang selama ini tegas menolak klaim sepihak tersebut.
Kebijakan luar negeri Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo sebelumnya menolak keras klaim Sepuluh Garis Putus ini, dengan mengacu pada keputusan Pengadilan Arbitrase Internasional tahun 2016 yang menyatakan klaim China tidak memiliki dasar hukum. Dengan adanya pernyataan bersama ini, pertanyaan yang muncul adalah apakah kebijakan tersebut akan berubah di bawah pemerintahan baru Presiden Prabowo. Jika benar ada perubahan, ini tentu akan berdampak besar pada hubungan Indonesia dengan negara-negara lain di kawasan, seperti Vietnam, Malaysia, dan Filipina, yang juga memiliki klaim di Laut China Selatan.
Negara-negara ASEAN yang selama ini berseteru dengan China terkait Laut China Selatan mungkin akan melihat posisi Indonesia dengan kecurigaan. Apakah Indonesia masih berpihak pada stabilitas regional dan hukum internasional, ataukah mulai condong ke arah China demi keuntungan ekonomi dan politik jangka pendek? Ketegangan dengan negara-negara tetangga bisa meningkat, dan posisi Indonesia di ASEAN dapat terancam jika dianggap terlalu mendukung China.
Selain itu, ada juga kekhawatiran terkait reaksi negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Jepang. Kedua negara ini selama ini mendukung posisi Indonesia yang tegas menolak klaim China di Laut China Selatan. Jika Indonesia terlihat mendukung klaim China, hubungan dengan negara-negara ini bisa memburuk, dan hal ini bisa merugikan Indonesia dalam jangka panjang, baik dari segi keamanan maupun ekonomi.
Realitas Diplomasi: Antara Peluang dan Risiko
Tentu saja, dalam diplomasi, setiap langkah memiliki risiko dan keuntungan. Kerja sama dengan China jelas menawarkan peluang besar, terutama di bidang ekonomi. Namun, Indonesia juga harus berhati-hati agar tidak mengorbankan kedaulatannya. Laut Natuna Utara adalah wilayah yang secara jelas diakui sebagai bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia berdasarkan hukum internasional, khususnya UNCLOS 1982.
Menjaga kedaulatan atas wilayah ini adalah prioritas utama bagi Indonesia, dan pemerintah harus memastikan bahwa kerja sama dengan China tidak membuka pintu bagi pengakuan terhadap klaim-klaim sepihak yang dapat merugikan Indonesia. Kesepakatan joint development atau pengembangan bersama hanya dapat dilakukan jika kedua belah pihak mengakui adanya tumpang tindih klaim. Jika Indonesia terlibat dalam skenario ini, ada risiko besar bahwa kita secara tidak langsung mengakui klaim sepihak China, yang bertentangan dengan posisi hukum internasional kita selama ini.
Transparansi dan Pengawasan: Kunci Keberhasilan
Untuk itu, sangat penting bagi pemerintah Indonesia, terutama Presiden Prabowo, untuk tetap transparan dalam menangani kerja sama ini. Rakyat Indonesia berhak mengetahui detail kesepakatan ini, dan DPR sebagai wakil rakyat juga harus dilibatkan dalam setiap langkah yang diambil pemerintah terkait kebijakan maritim. Mengingat dampak besar dari keputusan ini, berkonsultasi dengan DPR adalah langkah penting untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil sejalan dengan konstitusi dan undang-undang yang berlaku.
Jika kesepakatan ini benar-benar melibatkan wilayah Natuna Utara, banyak peraturan yang mungkin harus dilanggar untuk mewujudkannya. Ini tentu akan menimbulkan pertanyaan serius tentang legalitas kesepakatan tersebut, dan apakah pemerintah siap menanggung konsekuensi hukum dan politiknya.
Menyeimbangkan Kepentingan Nasional
Setiap kebijakan luar negeri adalah soal menyeimbangkan antara diplomasi dan kepentingan nasional. Kerja sama maritim dengan China bisa menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk memperkuat posisinya di kawasan, namun tidak boleh mengorbankan kedaulatan kita atas Laut Natuna Utara. Pemerintah harus hati-hati dalam mengelola kesepakatan ini agar tidak menimbulkan dampak negatif jangka panjang, baik di dalam negeri maupun dalam hubungan internasional.
Dengan keterbukaan, pengawasan, dan strategi yang matang, Indonesia dapat memanfaatkan kerja sama ini untuk keuntungan bersama, tanpa harus mengorbankan kedaulatan atau kehilangan dukungan internasional yang telah lama dibangun.