Slider

Eskalasi Israel-Iran: Strategi Militer atau Kepentingan Egoistik yang Mengorbankan Gaza?

gaza

Oleh Kang Zamzam Irfan
Pengamat Sosial Politik dan Pendidikan

Serangan Israel ke Iran yang diberi tahu lewat perantara justru memperkeruh suasana di Timur Tengah. Ketegangan ini membuat krisis kemanusiaan di Gaza makin terlupakan, seakan penderitaan rakyat Palestina cuma jadi latar dari persaingan dua kekuatan besar. Benarkah ini soal keamanan, atau hanya aksi agresi yang disamarkan?

Kali ini, Israel memberi tahu Iran sebelum serangan, berbeda dari serangan mendadak seperti biasanya. Ini cara Israel untuk mengalihkan perhatian dunia dari Gaza yang terus mengalami krisis? Aksi ini terlihat lebih seperti upaya menunjukkan kekuatan dan menutupi kegagalan Isarel dalam perang melawan Hamas dan genosida warga sipil di Gaza.

Iran yang membalas serangan juga menambah rumit situasi. Retorika anti-Israel dari Teheran mungkin populer di dalam negeri, tetapi tindakan militernya malah memperkuat kesan bahwa Iran juga lebih peduli pada citra kekuatannya ketimbang mencari solusi konkrit untuk Gaza. Sementara itu, nasib rakyat Palestina di Gaza justru makin terabaikan.

Pihak ketiga seperti Menteri Luar Negeri Belanda, Caspar Veldkamp, yang terindikasi ikut sebagai perantara, makin memperjelas bahwa konflik ini lebih mengutamakan kepentingan strategis elite dunia daripada kemanusiaan. Diplomasi ini malah seolah memfasilitasi agresi Israel, bukan meredamnya.

Lebih parah lagi, media dan perhatian dunia lebih sibuk dengan drama Israel-Iran ini, sementara warga Gaza hidup dalam ketakutan, menghadapi blokade, dan kekurangan medis. Berita tentang konflik dua negara besar ini terus mendominasi, seakan-akan mengaburkan penderitaan di Gaza yang nyata dan butuh bantuan segera.

Israel dan Iran tampaknya sedang bersandiwara di panggung internasional. Keduanya saling lempar serangan dan ancaman, seolah-olah ini adalah pertikaian yang serius. Namun, di balik semua itu, mereka justru saling membutuhkan ketegangan ini untuk kepentingan masing-masing. Israel terus memanfaatkan konflik ini untuk menunjukkan kekuatan militernya dan menjaga dukungan dari sekutu-sekutu Barat. Dengan memainkan peran sebagai "pembela" di kawasan yang dianggap berbahaya, Israel menguatkan aliansinya sambil menutupi masalah di dalam negerinya, kegagalan melawan Hamas dan genosida di Gaza.

Iran pun tidak kalah lihainya. Dengan terus memanaskan situasi, mereka mengalihkan perhatian publik dari masalah ekonomi dan politik di dalam negeri. Retorika anti-Israel yang sering disuarakan dari Teheran menjadi alat politik yang efektif untuk menguatkan dukungan rakyat dan mempertahankan citra sebagai kekuatan regional yang tidak gentar. Namun, semua ini tidak berujung pada tindakan nyata untuk membantu warga Palestina di Gaza, yang malah dibiarkan menderita tanpa dukungan yang cukup.

Bagi keduanya, konflik ini hanyalah alat untuk menunjukkan kekuatan dan menjaga pengaruh di Timur Tengah, bukan upaya sungguhan untuk mencapai perdamaian atau menyelesaikan krisis yang ada. Israel tetap mempertahankan blokade dan pembatasan yang menyiksa warga Gaza, sementara Iran terus berbicara keras tapi minim aksi nyata untuk mendukung rakyat Palestina. Sementara mereka terus bermain drama, rakyat Gaza tetap terjebak dalam kesengsaraan sehari-hari tanpa bantuan yang berarti.

Drama Israel-Iran ini hanya menjadi kedok untuk melindungi kepentingan masing-masing, dengan mengorbankan warga sipil di Gaza dan menciptakan ketidakstabilan yang semakin mengkhawatirkan. Israel dan Iran pada akhirnya hanyalah dua aktor di panggung yang sama, memainkan peran masing-masing, dan selama dunia terus terpaku pada sandiwara ini, krisis kemanusiaan yang sebenarnya di Gaza terus berlanjut tanpa solusi.

Baca Juga

News