Perjalanan Ibu Kota Indonesia Dari Masa ke Masa
Sejak 1619, Batavia telah menjadi pusat kekuasaan Hindia Belanda. Letaknya yang strategis di sepanjang Sungai Ciliwung dan Teluk Jakarta menjadikannya pilihan yang tepat bagi VOC. Kota ini menjadi jantung perdagangan vital di kawasan Asia Tenggara.
Ketika Jepang menguasai, Batavia berubah nama menjadi Jakarta, tapi statusnya sebagai ibu kota tetap tidak berubah.
Yogyakarta
Pada 17 Agustus 1945, Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Namun, Belanda menolak mengakui dan berupaya merebut kembali kendali atas Indonesia.
Pada tahun yang sama, pemerintah Indonesia beralih ibu kota ke Yogyakarta karena Jakarta masih di bawah kekuasaan Belanda.
Yogyakarta menjadi ibu kota selama lima tahun, dari 1945 hingga 1950, menjadi pusat pemerintahan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Bireuen
Selama satu minggu, tepatnya dari 18 hingga 24 Juni 1948, Bireuen menjadi ibu kota Indonesia. Hal ini terjadi setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda dalam Agresi Militer II.
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta meninggalkan Yogyakarta pada 18 Juni 1948 menuju Bireuen. Di sana, Soekarno tinggal di kediaman Kolonel Hussein Joesoef dan Hatta tinggal di rumah Teuku Hasbi Asyidiq.
Mereka memimpin pemerintahan Indonesia dari kejauhan dan memberikan arahan kepada pemimpin pemerintahan dan militer di seluruh Indonesia.
Pada 24 Juni 1948, keduanya meninggalkan Bireuen menuju Bukittinggi.
Bukittinggi
Selama tujuh bulan, dari Desember 1948 hingga Juni 1949, Bukittinggi menjadi ibu kota Indonesia setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda dalam Agresi Militer II.
Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer II dan merebut Yogyakarta. Pemerintah Indonesia membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi.
PDRI yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara sebagai Menteri Kemakmuran dalam Kabinet Amir Sjarifuddin menjadi lawan utama Belanda.
Bukittinggi bertahan selama tujuh bulan hingga akhirnya Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949.
Jakarta
Pada 1950, Indonesia merebut kembali Jakarta dari Belanda dan sejak itu, Jakarta kembali menjadi ibu kota Indonesia.
Jakarta tetap sebagai pusat pemerintahan, ekonomi, dan budaya Indonesia hingga hari ini.
Nusantara
Tahun 2022, pemerintah Indonesia memutuskan untuk memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur dengan nama baru, Nusantara.
Pembangunan ibu kota baru telah dimulai pada 2022 dengan target selesai pada 2024.
Nusantara akan menjadi ibu kota baru Indonesia mulai tahun 2024.
Banyak yang menentang pemindahan ibu kota Indonesia ke Kalimantan Timur karena sejumlah alasan. Berikut beberapa di antaranya:
Anggaran yang Terbuang
Alasan utama yang sering disuarakan adalah pemborosan anggaran. Biaya pembangunan ibu kota baru diperkirakan mencapai Rp466 triliun, dianggap terlalu besar terutama dalam kondisi ekonomi yang sulit akibat pandemi COVID-19.
Kurang Strategis secara Lokasi
Ibu kota baru di Kalimantan Timur dianggap kurang strategis karena jaraknya dari pusat ekonomi dan kebudayaan di Pulau Jawa. Hal ini dapat mempersulit pemerintah dalam menjalankan pemerintahan dan memberikan layanan kepada masyarakat.
Dampak Lingkungan
Pembangunan ibu kota baru berpotensi merusak lingkungan dengan penggunaan lahan luas dan pemanfaatan sumber daya alam yang besar. Ini berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan seperti deforestasi, pencemaran air, dan udara.
Ketidakmerataan Penyebaran Penduduk
Pemindahan ke Kalimantan Timur dianggap tidak menyelesaikan masalah penyebaran penduduk yang tidak merata di Indonesia. Pulau Jawa akan tetap menjadi pusat ekonomi dan kebudayaan, membuatnya semakin padat, sementara pulau lainnya tertinggal.
Selain alasan-alasan tersebut, ada juga beberapa alasan lain yang diungkapkan oleh penentang pemindahan ibu kota negara, seperti:
Proyek yang Tidak Populis
Pemindahan tersebut dianggap tidak populer karena tidak didukung oleh mayoritas rakyat Indonesia, seperti yang terlihat dari hasil survei yang menunjukkan mayoritas rakyat menolak pemindahan tersebut.
Proyek dianggap Tidak Transparan
Proses perencanaan dan pelaksanaannya dianggap tidak transparan, tercermin dari adanya kasus korupsi dalam proses pembangunan ibu kota baru.
Pemindahan yang Tidak diperlukan
Sebagian melihat pemindahan tersebut tidak perlu karena Jakarta masih bisa diperbaiki dengan infrastruktur yang sudah memadai dan sumber daya manusia yang berkualitas.
Meskipun pemerintah berupaya mensosialisasikan manfaat pemindahan ibu kota dan memberikan penjelasan, masih banyak penolakan dari masyarakat.