8 Langkah Tukar Uang Baru Lebaran 2025 di Bank Indonesia, Dijamin Mudah!
February 25, 2025
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupakan peristiwa bersejarah bagi Indonesia, mengakhiri periode Demokrasi Liberal dan memulai era Demokrasi Terpimpin, sistem pemerintahan yang berpusat pada kekuasaan presiden.
Dampak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sangat signifikan dalam politik dan sosial Indonesia. Secara politis, dekrit ini memperkuat peran presiden sambil meredupkan kekuatan partai politik. Sementara secara sosial, terjadi polarisasi di masyarakat antara pendukung dan penentang dekrit.
Walaupun kontroversial, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 juga membawa dampak positif bagi Indonesia. Dokumen ini berhasil mencegah perpecahan negara serta memberikan fondasi bagi pembangunan nasional.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 bukan satu-satunya dekrit presiden yang dikeluarkan. Ada beberapa dekrit presiden setelahnya, di antaranya:
Dekrit Presiden 16 Oktober 1959 memuat:
Dekrit Presiden 22 Juni 1960 memuat:
Dekrit Presiden 5 Juli 1963 yang memuat:
Dekrit Presiden 22 Juni 1960 dan 5 Juli 1963 menjadi sumber kontroversi karena dianggap melanggar konstitusi dan menyebabkan perpecahan di masyarakat.
Selain dekrit yang dikeluarkan oleh Soekarno, terdapat Dekrit Presiden yang diterbitkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 23 Juli 2001. Isinya mencakup:
Dekrit Presiden Gus Dur juga menjadi kontroversi karena dianggap melanggar konstitusi dan memunculkan krisis politik di Indonesia.
Kedudukan Dekrit Dalam Hukum
Persoalan kedudukan dekrit presiden dalam sistem hukum Indonesia terus menjadi perdebatan hingga kini. Dua pandangan berbeda muncul terkait hal ini:
Pendapat pertama mendukung bahwa dekrit presiden adalah produk hukum yang sah serta memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Alasannya didasarkan pada dua poin utama:
Dekrit presiden berakar pada Hukum Darurat Negara yang berlaku di situasi darurat seperti perang atau pemberontakan. Di bawah kondisi darurat, presiden memiliki kewenangan untuk menerbitkan dekrit guna menangani keadaan darurat tersebut.
Selain itu, dekrit presiden telah diterima oleh masyarakat dan diakui oleh lembaga-lembaga negara seperti Mahkamah Agung dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Sebagai contoh, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diakui secara luas oleh masyarakat dan lembaga-lembaga negara.
Pendapat kedua menegaskan bahwa dekrit presiden bukanlah produk hukum yang sah dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Pandangan ini didasarkan pada dua argumen:
Pertama, dekrit presiden dianggap bertentangan dengan konstitusi, yang merupakan hukum tertinggi di suatu negara. Jika dekrit presiden bertentangan dengan konstitusi, maka keberlakuan dekrit tersebut dipertanyakan.
Kedua, dekrit presiden dikeluarkan tanpa melibatkan lembaga-lembaga negara lainnya, menunjukkan kurangnya legitimasi dari dekrit tersebut.
Meskipun Pemerintah Indonesia belum secara eksplisit menyatakan posisi dekrit presiden dalam hierarki hukum, dalam praktiknya, dekrit presiden yang diterima secara luas oleh masyarakat dan diakui oleh lembaga-lembaga negara, seperti Dekrit Presiden 5 Juli 1959, masih dianggap memiliki kekuatan hukum yang mengikat.